Haji Furoda, juga dikenal sebagai “haji mujamalah” atau “undangan”, adalah jenis haji non-kuota yang memungkinkan warga negara Indonesia berangkat ke Tanah Suci tanpa harus menunggu dalam antrean panjang kuota resmi pemerintah. Haji ini diselenggarakan oleh pihak swasta bekerja sama langsung dengan penyedia visa dari Arab Saudi.
Skema ini sejak lama menjadi pilihan bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial dan ingin menghindari antrean panjang kuota haji reguler yang bisa mencapai 20–30 tahun di beberapa daerah.
Namun, meskipun Haji Furoda sah secara hukum di Arab Saudi, keberangkatannya seringkali diliputi kontroversi karena tidak melalui sistem resmi pemerintah Indonesia. Dalam beberapa kasus, peserta haji Furoda terlantar karena visanya ditolak saat mendekati hari keberangkatan.

Bab 2: Kejutan Tahun 2025 – Visa Haji Furoda Tidak Terbit
Tahun 2025 menjadi tahun yang mengejutkan. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, tidak ada satu pun visa Haji Furoda yang diterbitkan untuk jemaah asal Indonesia. Hal ini memicu kepanikan di kalangan calon jemaah, biro perjalanan, dan pengamat haji.
Ratusan jemaah yang telah membayar lunas ke berbagai biro haji furoda harus menerima kenyataan bahwa mereka gagal berangkat. Banyak dari mereka telah mempersiapkan diri secara spiritual dan fisik, bahkan telah mengambil cuti panjang dari pekerjaan.
Pemerintah akhirnya angkat bicara. Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar secara resmi mengumumkan bahwa visa haji furoda tahun ini memang tidak diterbitkan karena sejumlah alasan fundamental yang berkaitan dengan kebijakan bilateral dan pengawasan terhadap penyelenggaraan haji.
Bab 3: Penjelasan Menag – Soal Keamanan dan Kredibilitas
Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Kementerian Agama, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa pemerintah Arab Saudi tidak menerbitkan visa mujamalah untuk jemaah dari Indonesia tahun ini karena evaluasi menyeluruh terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
“Arab Saudi tahun ini mengatur secara ketat proses distribusi visa non-kuota. Mereka ingin memastikan tidak ada lagi penyalahgunaan dan penelantaran jemaah yang kerap terjadi akibat visa furoda yang tidak dikelola dengan profesional,” ujar Nasaruddin.
Beliau menambahkan bahwa keputusan ini sepenuhnya berasal dari pemerintah Arab Saudi, namun Indonesia memahami dan menghormati langkah tersebut karena tujuannya adalah untuk perlindungan jemaah.
Bab 4: Evaluasi Pelanggaran Masa Lalu
Dalam penelusuran mendalam yang dilakukan oleh tim Kementerian Agama dan Kedutaan Besar Indonesia di Riyadh, ditemukan banyak kasus di mana jemaah furoda diberangkatkan oleh biro tanpa izin operasional resmi. Bahkan sebagian dari mereka diberangkatkan dengan visa ziarah atau visa bisnis, yang bukan diperuntukkan untuk ibadah haji.
Akibatnya, jemaah mengalami kesulitan saat ingin mengakses fasilitas haji resmi seperti tenda di Arafah, layanan bus, dan konsumsi. Dalam beberapa kasus ekstrem, jemaah bahkan ditangkap oleh otoritas Saudi karena dianggap melanggar hukum imigrasi.
Arab Saudi menyampaikan keberatan atas pola ini dan meminta Indonesia untuk lebih ketat dalam mengawasi biro-biro yang terlibat. Sebagai respons, pemerintah Indonesia mengusulkan moratorium sementara terhadap visa furoda agar dapat dilakukan pembenahan menyeluruh.
Bab 5: Dampak Terhadap Jemaah dan Biro Perjalanan
Ketidakterbitan visa furoda tahun ini berdampak besar bagi ribuan calon jemaah dan ratusan biro perjalanan. Banyak biro yang sudah memungut biaya penuh dari calon jemaah kini harus mengembalikan uang dengan berbagai skema refund, sebagian bahkan mengalami kegagalan finansial karena dana telah digunakan untuk booking hotel atau logistik lainnya.
Jemaah pun mengalami kerugian psikologis dan emosional. Banyak yang merasa kecewa, apalagi mereka yang telah menjual aset untuk membayar ongkos haji furoda yang lebih mahal dari haji reguler.
Di media sosial, muncul banyak keluhan dan tuntutan dari jemaah terhadap biro-biro yang dianggap tidak transparan dalam menyampaikan risiko keberangkatan. Bahkan beberapa kasus dibawa ke ranah hukum karena dianggap sebagai penipuan.
Bab 6: Sikap Tegas Pemerintah Indonesia
Menanggapi situasi ini, Menteri Agama menyatakan bahwa pemerintah akan menertibkan dan merevisi sistem pengawasan terhadap biro penyelenggara haji furoda. Dalam waktu dekat, Kemenag bersama Satgas Haji akan merilis daftar hitam biro yang terbukti tidak profesional dan merugikan jemaah.
Selain itu, akan diberlakukan aturan baru bahwa setiap penyelenggara haji furoda harus memiliki mitra resmi di Arab Saudi dan melaporkan rencana keberangkatan ke Kemenag paling lambat 60 hari sebelum pelaksanaan haji.
Langkah ini merupakan bentuk perlindungan terhadap masyarakat serta memastikan bahwa hanya pihak yang memiliki kapasitas dan integritas yang diizinkan menyelenggarakan haji non-kuota.
Bab 7: Kebijakan Arab Saudi yang Lebih Ketat
Pemerintah Arab Saudi sendiri tengah melakukan reformasi besar-besaran terhadap sistem visa haji mereka. Di bawah kepemimpinan Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, sistem digitalisasi visa telah ditingkatkan dan pemberian visa kini sangat selektif.
Arab Saudi kini hanya memberikan visa mujamalah kepada individu atau institusi yang memiliki rekam jejak kredibel dan telah mendapatkan rekomendasi langsung dari Kementerian Haji Saudi. Proses ini tidak lagi bisa dilakukan secara sembarangan oleh agen non-terdaftar.
Hal ini adalah bagian dari strategi Vision 2030 Arab Saudi yang ingin menjadikan penyelenggaraan haji dan umrah sebagai sektor unggulan dengan tata kelola modern, transparan, dan berkelanjutan.
Bab 8: Perbedaan Haji Reguler, Khusus, dan Furoda
Untuk memahami konteks ini lebih dalam, perlu dibedakan antara tiga jenis haji yang selama ini berlaku di Indonesia:
- Haji Reguler – Dikelola langsung oleh pemerintah dengan biaya lebih terjangkau namun antreannya sangat panjang.
- Haji Khusus – Dikelola oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) resmi, dengan biaya lebih tinggi dan antrean lebih singkat.
- Haji Furoda – Tidak melalui kuota pemerintah, visa diterbitkan langsung oleh otoritas Arab Saudi.
Ketiga jenis ini sah secara syariat, namun masing-masing memiliki tantangan administratif dan hukum yang berbeda. Haji Furoda menjadi paling rawan karena tidak melalui pengawasan langsung pemerintah Indonesia, meski diakui secara resmi oleh Arab Saudi.
Bab 9: Solusi Jangka Panjang – Regulasi dan Edukasi
Menteri Nasaruddin menekankan bahwa ke depan pemerintah akan memperkuat dua aspek penting dalam menyikapi persoalan haji furoda: regulasi dan edukasi.
Regulasi akan diarahkan pada penguatan sistem perizinan dan pengawasan terhadap biro. Sementara edukasi akan digencarkan kepada masyarakat agar memahami perbedaan legalitas, risiko, dan kewenangan masing-masing jenis haji.
“Kami minta masyarakat jangan mudah tergiur oleh janji-janji manis biro haji furoda tanpa mengecek legalitas dan rekam jejaknya. Ingat, ibadah haji adalah ibadah yang suci, bukan ajang spekulasi,” ujar Nasaruddin.
Bab 10: Suara Masyarakat dan Tokoh Agama
Dari berbagai daerah, suara masyarakat terhadap fenomena ini beragam. Sebagian besar menyatakan kekecewaan, namun juga menyadari bahwa langkah pemerintah bertujuan melindungi jemaah dari praktik penipuan.
Ulama seperti KH. Ma’ruf Amin dan Habib Luthfi bin Yahya menyatakan dukungan terhadap langkah Menag. Mereka menilai bahwa pengelolaan ibadah haji tidak boleh diserahkan kepada pihak yang hanya berorientasi pada keuntungan finansial.
Beberapa ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah juga menyarankan agar jemaah lebih memilih jalur resmi haji reguler atau khusus agar mendapat perlindungan maksimal dari negara.
Bab 11: Evaluasi Layanan Digital Haji
Kementerian Agama juga tengah mengembangkan layanan digital untuk pelaporan, pelacakan, dan validasi jemaah haji, termasuk untuk jalur furoda. Melalui aplikasi Haji Pintar versi terbaru, masyarakat dapat melihat daftar biro haji terverifikasi, status visa, serta melakukan pengaduan langsung jika terjadi pelanggaran.
Layanan ini diharapkan menjadi alat bantu penting dalam mengedukasi masyarakat serta mengurangi risiko penipuan yang sering terjadi dalam penyelenggaraan haji non-kuota.
Bab 12: Harapan dan Rekomendasi
Ke depan, ada harapan agar visa furoda bisa kembali diterbitkan dengan sistem yang lebih tertib dan aman. Namun ini membutuhkan sinergi antara pemerintah Indonesia, otoritas Arab Saudi, dan penyelenggara haji swasta.
Beberapa rekomendasi yang disarankan oleh para ahli:
- Pemerintah membuat sistem pendaftaran haji furoda resmi sebagai jalur legal dan transparan.
- Adanya sistem escrow untuk dana jemaah sehingga biro tidak bisa menyalahgunakan.
- Sertifikasi khusus bagi pemandu haji furoda.
- Transparansi harga dan layanan kepada calon jemaah.
Penutup
Fenomena tidak terbitnya visa Haji Furoda tahun ini menjadi momentum refleksi besar bagi seluruh pemangku kepentingan haji. Ini bukan sekadar persoalan visa, tetapi juga integritas, akuntabilitas, dan komitmen untuk melayani ibadah suci dengan cara yang benar.
Menteri Agama Nasaruddin Umar telah memberikan penjelasan yang jujur dan terbuka mengenai persoalan ini. Kini tinggal bagaimana seluruh pihak—pemerintah, masyarakat, dan penyelenggara—bersama-sama memperbaiki sistem agar ibadah haji menjadi lebih tertib, aman, dan bermartabat.
Semoga ke depan, setiap warga negara Indonesia yang berniat beribadah haji bisa melakukannya dengan tenang, sah, dan dalam naungan perlindungan hukum yang kokoh.
Baca Juga : Rekomendasi 6 Model Outer Polos Kekinian, Simpel dan Stylish untuk Acara Formal maupun Nyantai Bareng Teman