Tanggal yang tak biasa namun sarat makna terjadi dalam agenda nasional yang jarang diperbincangkan luas—peringatan HUT ke-100 Almh. Ibu Sumarni, istri dari Jenderal Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri yang dikenal sebagai simbol keteladanan dan kejujuran di tubuh Polri. Namun peristiwa ini menjadi istimewa karena kehadiran sosok-sosok penting bangsa, termasuk Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Kapolri saat ini, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Dalam momen yang menyatukan nilai sejarah dan penghormatan terhadap tokoh bangsa, Jenderal Listyo menunjukkan gestur langka di ruang publik: tunduk dan mencium tangan Megawati, sebuah tindakan yang merefleksikan nilai hormat dan budaya timur yang masih dijaga dalam lingkaran tertinggi kekuasaan Indonesia.

Latar Belakang: Tokoh-Tokoh Besar dalam Sejarah Bangsa
Jenderal Hoegeng: Lambang Keteladanan
Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso dikenal bukan hanya sebagai Kapolri, tetapi sebagai simbol integritas yang tak tergoyahkan. Kepemimpinannya pada era 1968–1971 dikenang karena keberaniannya melawan korupsi, pungli, dan mafia hukum, bahkan terhadap tekanan kekuasaan Orde Baru.
Istrinya, Sumarni, meskipun tak banyak diekspos, merupakan sosok sentral yang selalu mendampingi Hoegeng dalam perjuangannya. Dalam wawancara terdahulu, keluarga Hoegeng sering menyebut Sumarni sebagai pilar moral yang menjaga konsistensi sang jenderal.
Megawati Soekarnoputri: Simbol Warisan Soekarno
Sebagai putri proklamator Bung Karno dan Presiden kelima RI, Megawati memegang peran penting dalam sejarah kontemporer Indonesia. Kepemimpinannya dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadikannya salah satu tokoh politik paling berpengaruh hingga hari ini.
Hubungan Megawati dengan keluarga Hoegeng pun bukan hal baru. Bung Karno dan Hoegeng memiliki kedekatan semasa hidupnya. Bahkan disebutkan, Bung Karno turut mengangkat Hoegeng dalam kariernya sebagai pejabat tinggi negara.
Peringatan HUT ke-100 Ibu Sumarni: Sebuah Tribut
Lokasi dan Suasana Acara
Acara peringatan HUT ke-100 istri Hoegeng diselenggarakan di sebuah auditorium sederhana namun sarat nuansa sejarah, dihadiri tokoh-tokoh nasional, keluarga besar Hoegeng, purnawirawan Polri, serta pejabat aktif.
Megawati datang sebagai tamu kehormatan. Mengenakan kebaya khas warna merah marun dengan selendang batik, ia duduk di kursi depan berdampingan dengan keluarga besar Hoegeng.
Jenderal Listyo Sigit hadir bersama jajaran pimpinan Polri. Mengenakan seragam resmi Polri lengkap dengan tanda kehormatan, ia masuk ke ruangan dengan penuh khidmat.
Sambutan dan Pidato-Pidato Bermakna
Acara dimulai dengan pembacaan doa dan pemutaran video dokumenter tentang kehidupan Hoegeng dan Sumarni. Pidato pertama disampaikan oleh perwakilan keluarga yang menceritakan sisi pribadi Sumarni sebagai istri yang sederhana, penyayang, dan tak pernah ingin terlihat di publik.
Megawati kemudian diberi kesempatan untuk menyampaikan pesan. Dalam pidatonya, ia memuji keteguhan Sumarni dalam mendampingi Hoegeng. “Di balik lelaki hebat, ada perempuan kuat. Bu Sumarni bukan hanya pendamping, tapi penjaga api moral Pak Hoegeng,” ujar Megawati dengan suara bergetar.
Kapolri Listyo juga menyampaikan penghargaan dan rasa hormat kepada pasangan Hoegeng dan Sumarni. “Pak Hoegeng adalah teladan bagi setiap anggota Polri. Nilai-nilai itu harus terus kami jaga, dan sosok Ibu Sumarni turut menjadi bagian dari nilai-nilai luhur tersebut,” katanya.
Gestur Hormat dan Cium Tangan: Makna Simbolis yang Dalam
Momen yang kemudian menjadi sorotan publik dan media adalah ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit berjalan menghampiri Megawati seusai menyampaikan sambutan. Di depan hadirin, ia menunduk dalam dan mencium tangan Megawati.
Tindakan itu bukan sekadar sopan santun, melainkan isyarat simbolik: penghormatan terhadap seorang tokoh bangsa, pemimpin senior, dan figur perempuan yang memiliki peran besar dalam sejarah politik Indonesia.
Bagi sebagian kalangan, cium tangan bisa bermakna politis. Namun dalam konteks ini, justru mencerminkan sinergi antara institusi Polri dan tokoh sipil nasional. Ini juga menunjukkan bahwa meski kekuasaan bersifat formal dan hirarkis, nilai-nilai kemanusiaan dan budaya tetap hidup di level tertinggi institusi.
Perspektif Budaya dan Politik
Budaya Timur: Hormat kepada yang Lebih Tua
Dalam budaya Jawa dan sebagian besar masyarakat Indonesia, mencium tangan orang tua atau tokoh yang dihormati adalah bentuk kasih, hormat, dan kepatuhan. Dalam konteks pejabat tinggi negara, tindakan semacam ini bukan hanya sopan santun, tetapi simbol penerimaan nilai dan amanah.
Kapolri yang mencium tangan Megawati, dalam hal ini, menunjukkan penghormatan terhadap nilai-nilai warisan sejarah, terutama nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh bangsa di masa lalu.
Dimensi Politik: Hubungan Polri dan PDIP?
Munculnya spekulasi politik dari gestur ini tentu tak terelakkan. Megawati sebagai Ketua Umum PDIP adalah tokoh politik penting. Namun dari sisi netralitas, Kapolri Jenderal Listyo telah menunjukkan kesetiaan kepada nilai-nilai universal, bukan kepada partai.
Hal ini dipertegas dalam pernyataan Jenderal Listyo bahwa dirinya hadir bukan sebagai pejabat politik, tetapi sebagai perwakilan institusi negara yang memberi penghargaan kepada keluarga Hoegeng, simbol integritas Polri.
Respon Publik dan Media
Video pendek momen Kapolri mencium tangan Megawati cepat menyebar di media sosial dan berita daring. Sebagian besar warganet menyambut positif, menyebut tindakan itu sebagai “contoh baik dari pejabat tinggi negara.”
Namun ada pula komentar sinis, menyebutnya sebagai “tunduk kepada politikus”. Beberapa pengamat menyarankan agar institusi negara tetap menjaga jarak dengan partai politik untuk menjaga netralitas.
Namun sejumlah akademisi menilai bahwa peristiwa itu adalah bagian dari upaya merawat sejarah dan nilai-nilai nasionalisme, yang seringkali terlupakan dalam hiruk-pikuk politik praktis.
Nilai Keteladanan yang Ditinggalkan Hoegeng dan Sumarni
Acara ini menjadi momentum pengingat betapa pentingnya keteladanan dalam memimpin, baik dari sisi etika pribadi maupun institusi. Hoegeng adalah tokoh langka dalam sejarah kepolisian Indonesia, dan istrinya adalah sosok di balik layar yang menjaga keseimbangan nilai.
Kapolri saat ini, melalui gestur dan pidatonya, tampaknya ingin menghidupkan kembali warisan tersebut. “Kami di Polri sedang dan akan terus berbenah. Kami ingin menghidupkan kembali semangat Pak Hoegeng,” tegas Listyo.
Kesimpulan: Jejak Sejarah dan Harapan Masa Depan
Pertemuan antara Kapolri dan Megawati dalam acara peringatan HUT ke-100 istri Hoegeng bukan sekadar seremoni. Ini adalah pertemuan simbolis antara generasi masa kini dan nilai-nilai masa lalu, antara institusi negara dan keteladanan moral, antara kekuasaan dan kerendahan hati.
Gestur hormat dan cium tangan yang dilakukan Kapolri kepada Megawati mencerminkan banyak hal: pengakuan terhadap sejarah, penghormatan terhadap nilai-nilai bangsa, serta keinginan untuk menempatkan kembali moralitas dan integritas sebagai poros kepemimpinan publik.
Jika momen ini dijadikan pijakan, maka masa depan kepolisian dan kepemimpinan nasional memiliki harapan untuk kembali pada nilai-nilai dasar yang telah lama menjadi fondasi negara ini: keteladanan, kejujuran, dan hormat kepada sesama.